budaya
REOG PONOROGO DALAM
TINJAUAN ANTROPOLOGI BUDAYA (KUPAS TAJAM ANTROPOLOGI BERSAMA IBU SEREPINA TIUR
MAIDA, S.Sos., M.Pd., M.I.Kom)
Sejarah sampai
Pementasan
Reog merupakan kesenian tari tradisional dalam arena terbuka
yang berfungsi sebagai hiburan rakyat, mengandung unsur magis, penari utama adalah orang berkepala singa dengan
hiasan bulu merak, ditambah beberapa penari bertopeng dan berkuda lumping dan
reog asli dari Indonesia (Wisnu, 2011). Reog merupakan salah satu seni budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut, dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang
sebenarnya. Reog Sebuah seni
pertunjukan tua yang bertahan dari gempuran zaman. Memiliki nilai seni
sekaligus nilai-nilai luhur. Reog Ponorogo adalah bentuk kesenian yang tumbuh
berabad-abad lalu (Sutedjo, 2005).
Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia
yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan
yang kuat. Tarian tradisional dalam arena terbuka yang berfungsi
sebagai hiburan rakyat, mengandung unsur magis, penari utama adalah orang
berkepala singa dengan hiasan bulu merak, ditambah beberapa penari bertopeng
dan berkuda lumping. Ada dua ragam bentuk reog Ponorogo yang dikenal saat ini,
yakni Reog Obyog dan Reog Festival.
Reyog berkembang sajak lama dan terus mengalami
evolusi dan penyesuaian dari waktu ke waktu, sehingga budaya ini tidak
ketinggalan jaman serta tetap menarik bagi semua kalangan baik di tingkat
lokal, nasional maupun internasional. Hal itu karena sampai saat ini Reog telah
berkembang dan lestari di berbagai negara di dunia seperti taiwan, Malaysia,
Hongkong, Amerika dan beberapa negara Eropa serta Rusia. Tentu saja al itu
karena dibawa oleh penduduk asli Ponorogo dan kemudian mengalami semacam
asimilasi budaya.
Pada
perkembangannya, Reog modern biasanya dipentaskan dalam acara seperti pernikahan, dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari
beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Reog obyog Sering pentas di
pelataran atau jalan tanpa mengikuti pakem tertentu. Biasanya mengisi acara
hajatan, bersih desa, hingga pementasan semata untuk menghibur. Sedangkan Reog
Festival sudah mengalami modifikasi dan ditampilkan sesuai pakem dalam acara
tahunan Festival Reog yang diadakan Pemerintah Kota Ponorogo sejak 1997. Berdasarkan lokakarya pengusulan ICH UNESCO tanggal
15-16 Februari 2022, Reog Ponorogo masuk Daftar Warisan Budaya Tak benda
(WBTb) UNESCO.
Ada
lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal usul Reog
dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita
tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang
abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi,
Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad
ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak
istri raja Majapahit yang berasal dari Tiongkok, selain itu juga murka kepada rajanya dalam
pemerintahan yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan
Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan
sang raja dan mendirikan perguruan di mana ia mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan
bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit
kembali. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan
maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog,
yang merupakan "sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan
kerajaannya. Pagelaran
Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal
menggunakan kepopuleran Reog (Wisnu, 2015).
Dalam
pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai
"Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk
Kertabhumi, dan di atasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas
raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Tiongkoknya yang mengatur
dari atas segala gerak-geriknya. Jathilan, yang diperankan oleh kelompok
penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol
kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan
warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki
Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng Singa Barong yang mencapai
lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya (Sutedjo, 2005).
Kepopuleran
Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil
tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang
untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng
Kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya
sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan
populer di antara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru di mana
ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Klono Sewandono, Dewi Songgolangit,
dan Sri Genthayu.
Versi
resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang
berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia
dicegat oleh Raja Singa Barong dari Kediri. Pasukan Raja Singa Barong terdiri
dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo, Raja Klono dan Wakilnya Bujang Ganong, dikawal
oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya),
dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan
tarian perang antara Kerajaan Kediri dan
Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para
penari dalam keadaan "kerasukan" saat mementaskan tariannya.
Hingga kini masyarakat Ponorogo
hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai warisan budaya yang sangat kaya. Dalam
pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya
aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun
menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya
garis keturunan yang jelas. Mereka menganut garis keturunan parental dan hukum adat yang masih berlaku. Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa acara seperti
pernikahan, khitanan, dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri
dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya
dibawakan oleh 6–8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka
dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani.
Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6–8 gadis yang menaiki kuda. Pada
Reog tradisional, penari ini biasanya diperankan oleh gemblak, penari laki-laki yang berpakaian
wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang atau jathilan, yang harus dibedakan
dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping.
Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil
yang membawakan adegan lucu yang disebut Bujang Ganong atau Ganongan. Setelah tarian pembukaan selesai, baru
ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi di mana seni Reog
ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah
adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita
pendekar.
Adegan dalam seni Reog biasanya
tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Di sini selalu ada interaksi
antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan
penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh
pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam
pementasan seni Reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya. Adegan terakhir adalah Singa Barong, di mana
pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari
bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50–60 kg.
Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk
membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga
dipercaya diperoleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.
Reog Dalam Kacamatan
Antropologi
Ilmu Antropologi adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari antara manusia
dan kebudayaan yang hadir di dalam masyarakat. Cabang ilmu Antropologi
merupakan cabang ilmu yang menjembati suatu reaksi hukum dan kebudayaan yang
telah ada sebelumnya. Hukum dan kebudayaan merupan cerminan dari suatu
masyarakat. Sedangkan Antropologi hukum menurut Hilman Hadikusuma merupakan
ilmu yang mempelajari kebudayaan dan manusia yang bersifat hukum. Sedangkan
kaitan antara antropologi dengan kajian hukum merupakan ilmu tentang manusia
dalam arti luas dalam hubungannya dengan hukum yang hadir dalam kelompok
“manusia“ itu sendiri itu merupakan perwujudan dari antropologi hukum. Selanjutnya dalam ini sebuah Budaya dapat terbentuk dan
berubah seiring dengan evolusi masyarakatnya itu sendiri dari yang paling
rendah sampai yang paling tinggi pada saat ini. Dimana masyarakat Ponorogo
mengalami evolusi dalam pengembangan dan kelestarian Budaya Reog. ditandai
dengan pergantian atau regenerasi pemain lama ke pemain baru. Masyarakat berevolusi
dalam melestarikan budaya Reog dimana masyarakat pada saat ini sudah memiliki
kesepakatan dengan penuh kesadaran yang tinggi untuk saling bahu membahu dalam
pembelian reog serta peralatan pendukungnya demi kelestarian Reog asli Ponorogo
agar tidak punah.
Komentar
Posting Komentar